Minggu, 04 November 2007

Orasi Budaya "Dari Mobilisasi Politik Meluas Menjadi Mobilisasi Budaya"

Undangan Orasi Budaya II
Max Lane:
 
Salam Budaya
 
Pada orasi budaya pertama M Dawam Rahardjo menyampaikan pemikirannya dalam pembentukan Indonesia yang lebih baik dengan judul "Strategi Budaya Di Era Globalisasi".
 
Di november ini untuk Orasi Budaya II oleh Galeri Publik yang akan menyampaikan adalah Max Lane seorang Indonesianis. Ia akan menyampaikan pikiran-wacananya (dalam aspek budaya) tentang arus mobilisasi politik di tahun tahun awal reformasi '98 ke mobilisasi budaya serta kaitannya dengan serangan globalisasi yang terjadi sekarang.
 
Untuk itu kami mengundang rekan rekan agar bisa hadir di acara Orasi Budaya II oleh Galeri Publik pada
 
Hari dan Tanggal         : Selasa, 13 November 2007
Waktu                          : Pukul 13.00 – 16.00 WIB
Tema                            : "Dari Mobilisasi Politik Meluas Menjadi Mobilisasi Budaya Dalam Menghadapi Serangan Globalisasi"

Tempat                        : Galeri Publik Jln Diponegoro No. 9 Menteng Jakarta Pusat.
Bentuk Kegiatan           :
1.       Performance Art
2.       Orasi Budaya
3.       Makan siang & ramah ramah
 
Demikian undangan ini. Kami tunggu kehadiran rekan rekan dan trimakasih untuk perhatiannya.
 
Revitriyoso Husodo
Koordinator
GALERI PUBLIK
INSTITUTE FOR GLOBAL JUSTICE
Jl. Diponegoro No. 9 Menteng, Jakarta Pusat 10340.
Telp : 62-21 3193 1153, Fax : 62-21-391 39 56
Email : galeri_publik@globaljust.org/www.galeripublik.multiply.com
 
Informasi:
Tejo : 0817 687 95 98
--------
Lampiran
Mobilisasi politik, mobilisi budaya:
melawan arus "globalisasi" semu

Selama tahun 1990an muncul sebuah gerakan perlawanan kediktatoran

Yang bersandar aktif pada metode perjuangan aksi massa. Mahasiswa
bersama petani, dan juga mahasiswa bersama kaum pekerja mobilisasi di
desa maupun di pabrik dan kantor menuntut haknya. Gerakan ini kemudian
berkembang dan bersatu dengan keresahan masyarakat umum tentang
kediktatoran, pelanggaran HAM, KKN dan jurang kaya-miskin.

Pada Mei 1997 pada waktu mobilisasi massif Mega-Bintang-Rakyat dan
kemudian lagi bulan-bulan awal 1998 aksi massa betul-betul menjadi
massif. Elit politik dan elit KKN terpaksa gerak cepat untuk

menghindar
gerakan ini mempertanyakan seluruh sistem: mereka membuang pimpinan
selama ini dengan harapan gerakan akan puas. Sesudah Presiden Suharto
terpaksa mundur, memang gerakan juga menciut. 
Selama 10 tahun aksi massa spontan terus terjadi, tetapi tidak bisa
berkembang menjadi lebih daripada spontan, fragmentatif dan sangat
terbatas dalam dampak politiknya.

Salah satu persoalan ialah selama tahun 1990an dan selama 10 tahun
terakhir ini pergerakan aksi massa masih belum ketemu "budaya"nya,
atau ideologinya. Aksi massa adalah lebih daripada sekedar salah satu

metode perjuangan. Gerakan aksi massa merupakan basis dari
kebudayaan
pembebasan itu sendiri. Tetapi sebuah budaya pembebasan membutuh
lebih daripada cara bergerak tertentu (aksi massa), dia juga butuh cara

berpikir, cara melihat dunia secara menyeluruh; dia butuh suara dan
mekanisme bersuara.

Sekarang
Indonesia menhadapi gelombang sebuah 'globalisasi' semu dan
gadungan yang justeru memusatkan kekayaan dunia di satu atau dua atau
tiga titik saja dan tidak menyebarluaskannya secara global. Adalah
gerakan aksi massa yang bisa menjadi alat perlawanan, dan juga nanti

alat memerintah dan sebagai alat membangun ekonomi.
Tetapi untuk aksi massa bisa mencapai semua ini metode aksi massa ini
harus menyatu dengan sebuah revolusi kebudayaan dengan visinya, cara

berpikirnya dan suaranya dengan senjata-senjata kebudayaannya   yang
jitu: sejarah, sastera dan koran.

Tidak ada komentar: